[Teks dan Ilustrasi: Stephanie Mamonto]
Bocah laki-laki ceking itu selalu membawa-bawa akuarium kaca bulat, rumah bagi sahabat-sahabat kecilnya yang berwarna oranye keemasan, ke mana saja.
Ia senang sekali memandangi mereka ketika sedang menari lincah dengan sirip mengembang bak penari flamingo. Getaran-getaran sirip mereka begitu teratur, menjalin sebuah harmonisasi nada yang terdengar seperti musik merdu ketika bocah laki-laki itu menempelkan telinganya pada akuarium kaca bulat. Alunan musik itu menyatu dengan air kehidupan bagai kotak musik yang tak pernah berhenti berputar. Lalu ketika senja tiba, pantulan cahaya oranye keemasan mentari pada tubuh sahabat-sahabat kecilnya itu akan dibiaskan oleh air kehidupan menjadi cahaya pelangi yang sangat indah. Persis seperti meneropong cahaya mentari melalui kristal plastik murahan.
Namun cahaya dan musik yang sudah menjadi napas kehidupan bocah laki-laki ceking itu tak bisa menjadikannya penuh dan sepenuhnya terpuaskan. Cahaya dan musik itu hanya memberikannya kemewahan yang semu. Bukan ketenteraman yang sendu seperti yang selalu ia dapatkan ketika memandangi langit.
Bocah laki-laki ceking itu murung. Matanya yang cekung khas Hindustan-Melayu itu jadi semakin sayu mendayu-dayu. Ia ingin sekali bisa menari; bersama dirinya sendiri dan bintang-bintang di langit. Lalu memetik bintang itu satu per satu untuk menghiasi langit-langit kamarnya yang kosong. Supaya bisa ia amat-amati ketika rasa kantuk tak kunjung datang atau rasa sepi tak diundang yang sudah mulai terasa terlalu mengganggu.
Akhirnya pada suatu malam di mana cahaya dan musik selalu beradu di dalam akuarium kaca bulat yang selalu ia bawa ke mana-mana itu, bocah laki-laki ceking itu memutuskan untuk membebaskan sahabat-sahabat kecilnya.
”Pergilah. Kalian pantas mendapatkan rumah yang lebih baik.” ucapnya seraya membebaskan sahabat-sahabat kecilnya itu di sungai berair jernih. Meski sedih karena kehilangan mereka yang selalu menemaninya, tapi bocah laki-laki ceking itu sama sekali tak menangis. Hatinya sudah terlalu hampa untuk meresapi kesedihan yang baru.
Ia lalu mengenakan akuarium kaca bulat, yang dulu menjadi rumah bagi sahabat-sahabat kecilnya, seperti sedang mengenakan helm. Sisa-sisa cahaya dan musik memenuhi isi kepalanya.*
Tak lama bocah laki-laki ceking itu terangkat ke angkasa. Tubuhnya jadi ringan, seringan serbuk putih pada bunga rumput liar yang melayang-layang tertiup angin. Ia tak menyangka Alam Semesta akan mengijinkannya menuju langit penuh bintang yang selama ini ia impikan.
Bocah laki-laki ceking itu nyaris tak bisa menahan ledakan emosi yang bergemuruh di dadanya. Rasa gembira, heran, penasaran, dan takut bercampur aduk dan bergulung-gulung. Cahaya dan musik masih memenuhi isi kepalanya, memantul-mantul dalam akuarium kaca bulat yang ia kenakan sebagai helm. Menemaninya mengarungi perjalanan malam, perlahan-lahan meninggalkan bumi yang selama ini menjadi tempatnya berpijak. Ia memang sendirian, tapi sama sekali tak sedikit pun merasa kesepian.
Bocah laki-laki ceking itu menari dan memetik bintang. Menyimpannya di dalam tas pinggang berwarna biru, tempat di mana dulu ia biasa menyimpan remah-remah roti untuk sahabat-sahabat kecilnya. Berkelana dari satu galaksi ke galaksi yang lain. Menggelayut dan memejamkan matanya sambil menikmati musik dan bias-bias cahaya pelangi di sekeliling wajahnya di atas bulan sabit. Entah sudah berapa hari, bulan, dan tahun cahaya ia lalui di atas sana.
Tiba-tiba ia teringat sahabat-sahabat kecilnya yang berwarna oranye keemasan, mentari yang terbit dan terbenam, juga segala sesuatu di muka bumi yang telah ia tinggalkan demi kesunyian malam yang abadi. Ia mulai bosan sendirian. Juga mual berada di angkasa yang makin lama makin berwarna hitam pekat seperti tinta cumi. Kehilangan cahaya bintang-bintang yang selama ini ia petik dan kini telah berdesakan memenuhi tas pinggang birunya. Ia ingin turun, berpijak lagi pada bumi. Rindu pada kehangatan sentuhan dan rasa manusia seperti dirinya.
Maka ia membuka akuarium kaca bulat yang selama ini jadi helm di kepalanya. Berharap hal itu bisa membawanya kembali berpijak. Tapi tak terjadi apa-apa. Tubuhnya masih seringan serbuk putih pada bunga rumput liar yang melayang-layang tertiup angin. Ia meronta-ronta, berharap dengan itu gravitasi bumi berpihak padanya. Namun tetap tak terjadi apa-apa. Bocah laki-laki ceking itu mati rasa. Ia bahkan tak bisa merasakan jempol kakinya sendiri di dalam sepatu Converse kulit berwarna coklatnya. Cahaya dan musik yang selama ini menjadi napas kehidupannya perlahan-lahan menghilang bagai denyut nadi yang melemah. Tiba-tiba ia merasa seperti ditelan oleh sebuah lubang hitam raksasa dan seketika itu juga langit si bocah laki-laki ceking itu menjadi sangat kelam.
Tol Merak-Sentul,
[31.05-01.06.08]
Ia senang sekali memandangi mereka ketika sedang menari lincah dengan sirip mengembang bak penari flamingo. Getaran-getaran sirip mereka begitu teratur, menjalin sebuah harmonisasi nada yang terdengar seperti musik merdu ketika bocah laki-laki itu menempelkan telinganya pada akuarium kaca bulat. Alunan musik itu menyatu dengan air kehidupan bagai kotak musik yang tak pernah berhenti berputar. Lalu ketika senja tiba, pantulan cahaya oranye keemasan mentari pada tubuh sahabat-sahabat kecilnya itu akan dibiaskan oleh air kehidupan menjadi cahaya pelangi yang sangat indah. Persis seperti meneropong cahaya mentari melalui kristal plastik murahan.
Namun cahaya dan musik yang sudah menjadi napas kehidupan bocah laki-laki ceking itu tak bisa menjadikannya penuh dan sepenuhnya terpuaskan. Cahaya dan musik itu hanya memberikannya kemewahan yang semu. Bukan ketenteraman yang sendu seperti yang selalu ia dapatkan ketika memandangi langit.
Bocah laki-laki ceking itu murung. Matanya yang cekung khas Hindustan-Melayu itu jadi semakin sayu mendayu-dayu. Ia ingin sekali bisa menari; bersama dirinya sendiri dan bintang-bintang di langit. Lalu memetik bintang itu satu per satu untuk menghiasi langit-langit kamarnya yang kosong. Supaya bisa ia amat-amati ketika rasa kantuk tak kunjung datang atau rasa sepi tak diundang yang sudah mulai terasa terlalu mengganggu.
Akhirnya pada suatu malam di mana cahaya dan musik selalu beradu di dalam akuarium kaca bulat yang selalu ia bawa ke mana-mana itu, bocah laki-laki ceking itu memutuskan untuk membebaskan sahabat-sahabat kecilnya.
”Pergilah. Kalian pantas mendapatkan rumah yang lebih baik.” ucapnya seraya membebaskan sahabat-sahabat kecilnya itu di sungai berair jernih. Meski sedih karena kehilangan mereka yang selalu menemaninya, tapi bocah laki-laki ceking itu sama sekali tak menangis. Hatinya sudah terlalu hampa untuk meresapi kesedihan yang baru.
Ia lalu mengenakan akuarium kaca bulat, yang dulu menjadi rumah bagi sahabat-sahabat kecilnya, seperti sedang mengenakan helm. Sisa-sisa cahaya dan musik memenuhi isi kepalanya.*
Tak lama bocah laki-laki ceking itu terangkat ke angkasa. Tubuhnya jadi ringan, seringan serbuk putih pada bunga rumput liar yang melayang-layang tertiup angin. Ia tak menyangka Alam Semesta akan mengijinkannya menuju langit penuh bintang yang selama ini ia impikan.
Bocah laki-laki ceking itu nyaris tak bisa menahan ledakan emosi yang bergemuruh di dadanya. Rasa gembira, heran, penasaran, dan takut bercampur aduk dan bergulung-gulung. Cahaya dan musik masih memenuhi isi kepalanya, memantul-mantul dalam akuarium kaca bulat yang ia kenakan sebagai helm. Menemaninya mengarungi perjalanan malam, perlahan-lahan meninggalkan bumi yang selama ini menjadi tempatnya berpijak. Ia memang sendirian, tapi sama sekali tak sedikit pun merasa kesepian.
Bocah laki-laki ceking itu menari dan memetik bintang. Menyimpannya di dalam tas pinggang berwarna biru, tempat di mana dulu ia biasa menyimpan remah-remah roti untuk sahabat-sahabat kecilnya. Berkelana dari satu galaksi ke galaksi yang lain. Menggelayut dan memejamkan matanya sambil menikmati musik dan bias-bias cahaya pelangi di sekeliling wajahnya di atas bulan sabit. Entah sudah berapa hari, bulan, dan tahun cahaya ia lalui di atas sana.
Tiba-tiba ia teringat sahabat-sahabat kecilnya yang berwarna oranye keemasan, mentari yang terbit dan terbenam, juga segala sesuatu di muka bumi yang telah ia tinggalkan demi kesunyian malam yang abadi. Ia mulai bosan sendirian. Juga mual berada di angkasa yang makin lama makin berwarna hitam pekat seperti tinta cumi. Kehilangan cahaya bintang-bintang yang selama ini ia petik dan kini telah berdesakan memenuhi tas pinggang birunya. Ia ingin turun, berpijak lagi pada bumi. Rindu pada kehangatan sentuhan dan rasa manusia seperti dirinya.
Maka ia membuka akuarium kaca bulat yang selama ini jadi helm di kepalanya. Berharap hal itu bisa membawanya kembali berpijak. Tapi tak terjadi apa-apa. Tubuhnya masih seringan serbuk putih pada bunga rumput liar yang melayang-layang tertiup angin. Ia meronta-ronta, berharap dengan itu gravitasi bumi berpihak padanya. Namun tetap tak terjadi apa-apa. Bocah laki-laki ceking itu mati rasa. Ia bahkan tak bisa merasakan jempol kakinya sendiri di dalam sepatu Converse kulit berwarna coklatnya. Cahaya dan musik yang selama ini menjadi napas kehidupannya perlahan-lahan menghilang bagai denyut nadi yang melemah. Tiba-tiba ia merasa seperti ditelan oleh sebuah lubang hitam raksasa dan seketika itu juga langit si bocah laki-laki ceking itu menjadi sangat kelam.
Tol Merak-Sentul,
[31.05-01.06.08]
* Lights and Music by Cut Copy (In Ghost Colours) -- "Lights and music, are on my mind"
ini gue suka, kayaknya dia sepi banget, hehehe. sayangnya pada akhirnya dia tidak merelakan semuanya, atau dia sebenarnya merelakan semuanya dan membiarkan semuanya menjadi hitam? :)hehehe_memen.
ReplyDelete